Dalam upaya global untuk membatasi pemanasan bumi hingga di bawah 1,5°C. Perhatian dunia kini tertuju pada negara-negara dengan tingkat emisi signifikan, termasuk Indonesia. Indonesia berkomitmen mencapai net zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Namun, laporan Climate Action Tracker menyebut kebijakan iklimnya masih “critically insufficient”. Penilaian ini menunjukkan kebijakan yang ada belum cukup kuat menahan laju kenaikan suhu global. Kebijakan tersebut justru berisiko memperburuk dampak krisis iklim.
Sebagai negara berkembang dengan ekonomi yang tumbuh pesat dan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia berada di posisi krusial: menjadi kunci dalam keberhasilan transisi energi global, sekaligus rentan terhadap dampak perubahan iklim. Lalu, mengapa kebijakan iklim Indonesia mendapat penilaian seburuk ini?
Mengapa Indonesia Dikategorikan “Critically Insufficient”
Penilaian “critically insufficient” yang diberikan CAT terhadap Indonesia bukan tanpa dasar. Label ini menunjukkan bahwa kebijakan dan tindakan saat ini tidak hanya tidak memadai, tetapi juga bertentangan dengan prinsip dasar mitigasi iklim yang adil secara global. Dalam konteks Perjanjian Paris, kebijakan serupa Indonesia dapat mendorong kenaikan suhu global lebih dari 4°C. Kenaikan ini jauh melampaui ambang batas aman yang ditetapkan secara internasional.
Beberapa faktor utama yang menyebabkan penilaian ini antara lain:
- Keterlambatan dalam transisi energi: Meski ada peningkatan kapasitas energi terbarukan, penggunaan batu bara masih sangat dominan dalam bauran energi nasional.
- Minimnya insentif pengurangan emisi sektor industri dan transportasi: Kedua sektor ini terus menyumbang emisi dalam jumlah besar tanpa adanya strategi radikal untuk menguranginya.
- Ketergantungan pada proyek offset dan kompensasi karbon: Beberapa proyek dianggap lebih banyak mengandalkan offset ketimbang aksi nyata di dalam negeri.
- Kurangnya transparansi dalam pelaporan dan pelaksanaan kebijakan yang diumumkan.
Proyeksi Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia pada 2030
Salah satu sorotan penting dari laporan Climate Action Tracker adalah proyeksi emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia. Jika tidak ada intervensi tambahan yang signifikan, emisi Indonesia diperkirakan naik sekitar 20% pada tahun 2030 dibandingkan level saat ini. Angka ini sangat kontras dengan tren global yang mendorong penurunan emisi sebesar 45% pada dekade ini untuk menjaga target 1,5°C tetap hidup.
Skenario saat ini menunjukkan Indonesia masih terlalu bergantung pada proyek energi fosil. Pembangkit listrik batu bara baru terus dibangun atau direncanakan. Bahkan dengan target pengurangan emisi nasional melalui Enhanced NDC (Nationally Determined Contribution) yang lebih ambisius, tren peningkatan emisi tetap belum tertahan jika tidak dibarengi perubahan sistemik dan percepatan transisi.

https://www.pexels.com/photo/woman-in-blue-jacket-holding-white-and-black-i-am-happy-to-be-happy-print-paper-2559749/
Catatan Climate Action Tracker: Kebutuhan Reformasi Regulasi dan Transparansi
Climate Action Tracker menegaskan bahwa Indonesia perlu memperkuat regulasi, meningkatkan transparansi dalam implementasi kebijakan, dan menghindari praktik greenwashing dalam strategi mencapai net zero.
- Regulasi yang lebih kuat dan mengikat dibutuhkan untuk memastikan pengurangan emisi tidak hanya bergantung pada komitmen sukarela atau program berbasis proyek semata. Misalnya, Indonesia perlu mengesahkan undang-undang yang membatasi penggunaan batu bara dan mempercepat penghentian operasional PLTU.
- Transparansi pelaksanaan juga menjadi sorotan. Banyak kebijakan yang diumumkan tidak disertai peta jalan implementasi yang jelas, indikator kemajuan, atau pelaporan berkala yang dapat diaudit publik. Tanpa transparansi, kepercayaan terhadap komitmen iklim akan terus dipertanyakan.
- Greenwashing menjadi ancaman nyata. Beberapa strategi yang diklaim sebagai bagian dari transisi hijau ternyata masih memfasilitasi ekspansi energi fosil. Misalnya, penggunaan teknologi “clean coal” atau penangkapan karbon (CCUS) yang belum terbukti secara luas dapat menciptakan kesan palsu bahwa pengurangan emisi sedang berlangsung, padahal hanya memperlambat perubahan yang dibutuhkan secara struktural.
Penilaian “critically insufficient” terhadap kebijakan iklim Indonesia bukan hanya peringatan keras, tetapi juga panggilan untuk bertindak. Dalam menghadapi krisis iklim yang semakin mendesak, Indonesia tidak cukup hanya dengan komitmen jangka panjang — yang dibutuhkan adalah aksi nyata, cepat, dan terukur. Reformasi regulasi, peningkatan transparansi, serta penghindaran terhadap praktik greenwashing menjadi langkah krusial untuk memperbaiki arah kebijakan iklim nasional.
Sebagai negara yang memiliki potensi besar dalam energi terbarukan dan peran penting dalam geopolitik global, Indonesia punya kesempatan emas untuk memimpin transisi hijau. Namun tanpa langkah konkret dan keseriusan dalam implementasi, cita-cita menuju net zero hanya akan menjadi janji kosong. Dunia menunggu, dan waktu terus berjalan — saatnya Indonesia membuktikan bahwa komitmennya lebih dari sekadar kata-kata.
Baca Artikel lainnya: Komitmen Indonesia Mengurangi Emisi Karbon