Banjir, Ketimpangan & Iklim: Seruan KTT G20 Afrika Selatan

Nov 26, 2025

KTT G20 yang diselenggarakan di Afrika Selatan berlangsung pada momen krusial ketika dunia tengah berhadapan dengan dampak nyata perubahan iklim. Negara yang kerap menjadi simbol ketimpangan global ini menghadapi bencana banjir besar, sekaligus meningkatkan sorotan terhadap kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin tajam. Di tengah kondisi tersebut, Afrika Selatan sebagai tuan rumah memanfaatkan panggung KTT G20 untuk menyerukan “suara solidaritas global”—mengajak negara maju dan berkembang mengambil langkah nyata menghadapi krisis iklim dan ketimpangan dunia secara bersamaan.

Banjir dan Dampak Krisis Iklim di Afrika Selatan

Beberapa tahun terakhir, Afrika Selatan telah mengalami perubahan pola cuaca ekstrem yang signifikan. Musim hujan datang dengan intensitas tinggi dan durasi berkepanjangan, memicu banjir di berbagai wilayah perkotaan, kawasan industri, serta pemukiman pinggiran. Fenomena ini tidak lagi dianggap sebagai insiden musiman biasa, melainkan sebagai bukti nyata krisis iklim.

Banjir tidak hanya menghancurkan infrastruktur fisik—jalan raya, jembatan, jaringan listrik, sekolah, hingga rumah warga ikut rusak parah—tetapi juga mengguncang stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat. Wilayah rawan yang sebelumnya telah dilanda kemiskinan kini semakin rentan; penduduk miskin yang tinggal di bantaran sungai atau daerah rendah menjadi terbesar yang menanggung kerugian akibat banjir. Selain kerusakan material, trauma sosial dan gangguan ekonomi jangka panjang muncul sebagai dampak lanjutan.

Tak hanya itu, banjir juga menimbulkan ancaman kesehatan masyarakat. Penyakit berbasis air dan ancaman sanitasi meningkat akibat sistem drainase yang terkontaminasi. Akses warga ke air bersih dan layanan kesehatan juga mengalami gangguan. Semua tanda menunjukkan bahwa perubahan iklim kini telah menjadi kenyataan yang menyakitkan, bukan sekadar proyeksi masa depan.

Kesenjangan Sosial dan Ekonomi yang Meningkat

Banjir dan perubahan iklim membuka wajah lain dari krisis yang lebih kompleks: ketimpangan sosial dan ekonomi. Dampaknya tidak dirasakan merata. Masyarakat kelas menengah dan atas yang memiliki jaringan asuransi, mobilitas tinggi, dan sumber daya finansial relatif masih bisa bertahan. Sebaliknya, lapisan masyarakat rentan—kaum miskin pedesaan dan lingkungan urban informal—menghadapi tekanan ekonomi ekstrem.

Penyebab ketimpangan semakin tajam

  • Ragam akses terhadap sumber daya: warga di luar pusat perkotaan memiliki akses terbatas ke layanan dasar dan bantuan.
  • Distribusi bantuan yang timpang: sumber daya pemerintah sering tersalurkan tidak merata sehingga daerah perkotaan besar lebih cepat pulih.
  • Ketergantungan pada ekonomi informal: warga miskin bergantung pada aktivitas ekonomi tidak formal, yang langsung runtuh saat bencana terjadi.

Kesenjangan ini tercermin dalam perbedaan respons dan pemulihan di antara lapisan yang berbeda. Ketika kawasan kaya bisa memperbaiki rumah dan infrastruktur dengan cepat, wilayah kurang berdaya justru tertinggal jauh. Situasi ini menegaskan bahwa krisis iklim tidak hanya bersifat lingkungan, melainkan memperlebar luka sosial–ekonomi di masyarakat.

worker clearing debris from polluted floodwater

https://www.pexels.com/photo/worker-clearing-debris-from-polluted-floodwater-33438419/

Seruan Mendesak untuk Aksi Global, dan Peran Afrika Selatan sebagai Tuan Rumah G20

Menjelang perhelatan KTT G20, Afrika Selatan menegaskan bahwa solusi global tak bisa lagi menunggu. Tuan rumah memanfaatkan momentum kedudukan diplomatik untuk menyerukan aksi kolektif, terutama dari negara-negara maju—yang menjadi kontributor terbesar emisi gas rumah kaca sepanjang sejarah. Pidato dan deklarasi di G20 menekankan beberapa poin penting:

  1. Tanggung jawab historis: negara maju diimbau mengakui kontribusi historis terhadap perubahan iklim dan memainkan peran utama dalam pendanaan mitigasi.
  2. Pendanaan adaptasi: permintaan kolaborasi finansial internasional untuk membiayai program adaptasi di kawasan terdampak, seperti sistem peringatan dini, infrastruktur tahan iklim, dan pemulihan komunitas rentan.
  3. Transfer teknologi: permintaan dukungan teknologi hijau serta skema transisi energi untuk membantu negara berkembang mengimplementasikan solusi rendah karbon.
  4. Keadilan iklim (climate justice): panggilan agar solusi iklim tidak membebani negara berkembang dan tetap bersifat inklusif, adil, serta realistis secara sosial-ekonomi.

Afrika Selatan mencontohkan bahwa kepemimpinan global kini harus berpijak pada moralitas dan kesetaraan, bukan sekadar kepentingan ekonomi. Momentum G20 menjadi panggung bagi negara berkembang untuk menyuarakan kebutuhan nyata masyarakat terdampak, sekaligus menekan negara maju untuk mengambil tindakan konkret—bukan sekadar retorika.

Penutup

Banjir, ketimpangan, dan perubahan iklim adalah tiga elemen krisis multidimensional yang saling memperkuat. Dalam konteks KTT G20 Afrika Selatan, isu ini diangkat sebagai panggilan kolektif agar aksi iklim global dihentakkan dengan komitmen nyata, pendanaan yang kuat, dan strategi adaptasi berbasis keadilan sosial.

Tidak cukup hanya menunggu penurunan emisi secara global; diperlukan pula penguatan daya tahan masyarakat rentan, peran teknologi, dan kolaborasi besar-besaran di level internasional. Afrika Selatan, sebagai tuan rumah G20, telah memosisikan keadilan iklim sebagai inti pembicaraan, sekaligus menyerukan solusi lintas batas bagi dunia yang menghadapi ancaman iklim terus meningkat.

Mengakhiri KTT bukan berarti akhir dari perjuangan — justru menjadi awal kolaborasi global baru. Dunia diimbau membangun sistem tanggap bencana, transformasi energi, serta pendekatan inklusif dengan mempertimbangkan warga paling rentan. Hanya melalui aksi bersama yang adil dan terstruktur kita dapat mewujudkan masa depan yang aman, adil, dan berkelanjutan.

Baca Artikel lainnya: Raja Ampat di Persimpangan Tambang dan Alam