Industri otomotif selama ini menjadi salah satu kebanggaan Eropa. Nama-nama besar seperti Volkswagen, Mercedes-Benz, BMW, hingga Renault telah lama menjadi simbol kualitas, teknologi, dan prestise di panggung global. Namun, kini industri mobil Eropa tengah menghadapi masa sulit. Persaingan global yang semakin ketat, terutama dengan kebangkitan China di bidang kendaraan listrik (EV) dan kebijakan proteksionisme Amerika Serikat (AS), membuat daya saing produsen Eropa kian tertekan.
Artikel ini akan mengulas faktor-faktor yang menyebabkan krisis industri otomotif Eropa, mulai dari penurunan daya saing, dominasi pasar kendaraan listrik oleh China, dampak kebijakan proteksionisme AS, hingga strategi produsen mobil yang masih bergantung pada mesin pembakaran internal (ICE).
Penurunan Daya Saing Industri Mobil Eropa
Selama beberapa dekade, mobil Eropa dikenal dengan kualitas tinggi, desain elegan, dan teknologi canggih. Namun, tren otomotif dunia mulai berubah cepat seiring dengan meningkatnya permintaan kendaraan listrik ramah lingkungan. Sementara itu, produsen Eropa dinilai lambat dalam melakukan transformasi menuju elektrifikasi.
Keterlambatan ini membuat biaya produksi di Eropa semakin tinggi dibandingkan dengan kompetitornya. Ketergantungan pada rantai pasok global, terutama komponen baterai, juga menjadi kendala besar. Akibatnya, daya saing mobil Eropa di pasar internasional menurun signifikan. Jika dulu mobil Eropa menjadi pilihan utama, kini konsumen global mulai melirik merek dari Asia, terutama China.
Dominasi China dalam Kendaraan Listrik
China kini menjadi pemain terbesar dalam industri kendaraan listrik global. Dengan dukungan pemerintah dan investasi masif pada teknologi baterai, produsen mobil China seperti BYD, NIO, dan XPeng mampu menawarkan kendaraan listrik dengan harga lebih terjangkau, teknologi mutakhir, dan jangkauan baterai yang kompetitif.
Dominasi China ini membuat pasar global kendaraan listrik semakin didominasi produk mereka. Bahkan, sebagian produsen mobil Eropa terpaksa bekerja sama dengan perusahaan China untuk tetap bertahan dalam persaingan. Jika tren ini berlanjut, maka bukan tidak mungkin Eropa akan kehilangan pangsa pasar yang selama ini menjadi basis kekuatannya.
Proteksionisme AS dan Dampaknya bagi Eropa
Selain tekanan dari China, kebijakan proteksionisme Amerika Serikat juga menambah beban bagi produsen mobil Eropa. AS menerapkan aturan ketat untuk mendukung industri dalam negerinya, khususnya melalui subsidi besar-besaran bagi produsen kendaraan listrik lokal.
Hal ini membuat produsen Eropa kesulitan menembus pasar Amerika. Biaya ekspor yang tinggi, ditambah aturan ketat tentang penggunaan komponen baterai buatan lokal, membuat mobil Eropa semakin sulit bersaing. Kebijakan ini pada akhirnya mempersempit ruang gerak produsen Eropa di salah satu pasar otomotif terbesar dunia.

https://elements.envato.com/wheels-of-tractor-trailer-driving-on-a-highway-dur-RFARQ6Y
Produsen Eropa yang Masih Fokus pada ICE Mulai Tertekan
Sementara dunia bergerak cepat menuju elektrifikasi, beberapa produsen mobil Eropa masih terlalu bergantung pada kendaraan bermesin pembakaran internal (ICE). Padahal, permintaan global terhadap mobil ICE mulai menurun, terutama di negara-negara maju yang gencar menerapkan regulasi emisi ketat.
Hal ini menyebabkan beberapa produsen mengalami penurunan penjualan dan harus melakukan restrukturisasi besar-besaran. Tantangan terbesar bagi mereka adalah bagaimana menyeimbangkan transisi ke kendaraan listrik tanpa meninggalkan basis pelanggan ICE yang masih ada, sembari menghadapi kompetisi ketat dari China dan AS.
Penutup
Krisis yang dihadapi industri mobil Eropa saat ini bukan sekadar ujian sementara, melainkan ancaman serius bagi keberlanjutan industri otomotif benua tersebut. Penurunan daya saing, dominasi kendaraan listrik China, kebijakan proteksionisme AS, serta keterlambatan dalam transisi dari ICE ke kendaraan listrik membuat masa depan industri otomotif Eropa dipertaruhkan.
Untuk bertahan, produsen Eropa harus mempercepat transformasi menuju kendaraan listrik, memperkuat investasi pada teknologi baterai, serta mencari pasar alternatif di luar AS dan China. Jika tidak segera beradaptasi, industri otomotif yang dulu menjadi ikon kejayaan Eropa bisa saja tergeser dari panggung global.
Baca Artikel lainnya: Hasil COP26: Menilai Komitmen yang Dibuat dan Dampaknya di Tingkat Global